IBU-IBU HEBAT BERBAGI CINTA



“Tahukah engkau semboyanku? 'Aku mau!' Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata 'Aku tiada dapat!' melenyapkan rasa berani. Kalimat 'Aku mau!' membuat kita mudah mendaki puncak gunung.”

Kutipan di atas merupakan semboyan yang inspiratif dari RA Kartini, pejuang kebebasan perempuan Indonesia yang hari rayanya kita kenang setiap 21 April. Ibu Kartini menekankan betapa pentingnya memilih kata-kata positif dan konstruktif. Pilihan kata bisa menentukan arah dan tujuan pencapaian kita. “Aku tidak dapat, melenyapkan rasa berani. Aku mau, membuat kita mudah mendaki gunung.”

Kedua kata ini - aku tidak dapat dan aku mau - seakan mewakili para ibu yang menulis dalam buku ini. Kemauan mereka untuk berbagi mendorong mereka mengalahkan keengganan dan rasa malu untuk berbagi. Mereka mau berbagi semata-mata terdorong oleh niat untuk menularkan semangat kepada sesama. Semboyan Kartini seakan menjadi semboyan mereka untuk menuliskan tentang diri mereka bagi sesama.

***

Setiap orang memiliki jalan hidupnya sendiri. Dan di setiap perjalanan itu ia memiliki kisah dan pengalaman yang ditorehkan sebagai sebuah sejarah. Sejarah yang ditorehkan secara personal itu bisa dibagikan kepada orang lain berupa sebuah tulisan dalam rupa artikel atau buku. Kalaupun tidak dibagikan akan menjadi kisah kenangan pribadi yang dibawanya hingga akhir hidupnya di dunia. Kedua pilihan tetap sama-sama indah. Yang pertama keindahan dinikmati (dibaca) oleh orang lain. Yang kedua keindahan hanya dinikmati diri sendiri, bahkan tidak juga untuk orang-orang terdekat dan terkasihnya.


Pilihan berbagi atau tidak hanyalah sebuah opsi dari seluruh perjalanan hidup seseorang. Pramoedya Ananta Toer pernah menulis, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. ... “ Menuliskan kisah hidup, sekalipun kelam dan sakit agar bisa dibaca oleh orang lain merupakan bagian dari panggilan sejarah. Ya sejarah untuk mewariskan butir-butir kebajikan dan pesan-pesan kehidupan yang bisa berguna bagi orang lain, sekalipun menyakitkan hati.

Pilihan untuk berbagi membutuhkan keberanian yang luar biasa dari dalam diri sendiri. Ya keberanian untuk melawan ego dan rasa malu untuk berbagi tentang segala kelemahan diri. Lagi-lagi Pramoedya pernah menulis demikian, “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” Keberanian, suatu sikap dan semangat yang tidak dimiliki oleh banyak orang untuk dengan jujur menorehkan sejarahnya (termasuk yang kelam) kepada orang lain. Tanpa keberanian, seperti kata Pramoedya “lantas apa harga hidup kita ini?” Sebuah tanya yang hanya bisa dijawab dengan sebuah disposisi batin ya mantap, “ya saya berani untuk menorehkan sejarah hidupku.”

Keberanian inilah yang dipilih oleh ibu-ibu penulis buku ini. Keputusan ibu-ibu untuk berbagi menurut hemat saya tanpa sadar terdorong oleh motivasi yang diberikan - lagi-lagi oleh - Pramoedya. “Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.”

Para ibu berbagi keceriaan dan penderitaannya semata-mata untuk menunjukkan betapa pentingnya menorehkan sejarah bagi sesama. Dari sejarah itu orang lain bisa belajar memetik pesan kehidupan.

Sejarah - sekalipun sangat personal (his-story, her-story, my story) - apapun itu tetaplah selalu berkaitan dengan hidup orang lain. Kita tak pernah bisa hidup tanpa orang lain. Begitu juga dengan kisah-kisah yang ada dalam buku ini. Semuanya selalu berkaitan dengan sesama baik di dalam keluarga, tempat kerja maupun masyarakat pada umumnya. Keterkaitan itu tak pernah lepas dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang saling bergantung dan membutuhkan sekalipun untuk hal yang paling personal.

***
RA Kartini dan Pramoedya Ananta Toer, seakan telah “membakar” dan menyulut semangat para ibu untuk menulis dan berbagi. Buku berjudul “Ibu-Ibu Hebat Berbagi Cinta dalam Kisah” ini salah satu buktinya.

Sedikit latar belakang mengapa buku ini hadir di tangan pembaca. Seusai pelatihan menulis kisah-kisah inspiratif di Wisma Pojok Indah, Yogyakarta, 24 Februari 2019, seorang peserta mengajak “bincang-bincang” lewat WA sebuah gagasan tenteng perempuan menulis: dari perempuan oleh perempuan untuk semua. Teman ini bersedia mengajak ibu-ibu/mama untuk menuliskan pengalaman mereka tentang kecantikan, kehamilan dan kelahiran (termasuk pasca melahirkan: menyusui dan merawat anak). Menanggapi keinginan tersebut, saya membuat semacam gagasan pengantar bagaimana para ibu nanti menggali pengalamannya seputar kecantikan, kehamilan dan kelahiran. Kami membuat WhatsApp Group: Ibu-ibu Menulis. Dari situ terkumpullah aneka kisah menarik yang dijadikan buku ini.

Para ibu yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi (dokter, dosen, penulis dan ibu rumah tangga dengan multi tugas) ini membagikan aneka pergulatan mereka seputar perjuangan menjadi seorang wanita dan ibu yang harus mengandung dan melahirkan anak-anak. Selain itu, perjuangan untuk mengandung dan melahirkan dimaknai secara kodrati dan spiritual sebagai jalan pemaknaan diri, dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka.

Penuturan yang lugas atas pengalaman yang sangat personal bagi sebagian penulis ibarat menerjang tembok tebal ketakutan diri. Dengan menuliskannya, mereka membebaskan diri dari segala beban yang mendera sekian puluh tahun. Pengalaman pahit bahkan yang disebut “aib” tak harus ditutup, karena dengan menulis akan menjadi mutiara bagi siapapun yang membacanya.

Jika seorang anak membaca buku ini, berbanggalah dan berdoalah bagi ibumu. Karena dengan segala cintanya, ia berusaha agar makhluk hidup yang ada dalam rahimnya terus bertumbuh menjadi seorang anak yang begitu dicintainya. Bacalah buku ini sembari mengenang ibumu tercinta. Betapa luar biasanya mereka bagimu. Tanpa ibumu, engkau tak akan membaca buku ini! Jika engkau seorang gadis, kelak engkau akan mengambil peran ibumu dan saat itulah engkau akan mengerti dan memahami isi buku ini.

Para ibu telah mengambil pesan Pramoedya untuk menjejakkan kisah mereka sebagai sejarah yang akan dibaca dan dikenang oleh - paling kurang - orang-orang terkasih yang terdekat dalam hidup mereka. Bukankah tak banyak yang menduga bahwa akan ada banyak kisah kejutan yang baru kita tahu setelah membaca buku ini?

Itulah rahasianya menjadi ibu-ibu hebat, yang tak pelit berbagi kasih kepada Anda. Selamat membaca. Semoga menginspirasi dan menantang Anda untuk menuliskan sejarah Anda sendiri.

Yogyakarta, 15 Juni 2020
Alfred B. Jogo Ena
Penggagas sekaligus Editor buku ini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANAMKAN JEJAK (1)

WATU NESAJA

MEREKA PERGI BERURUTAN