MEREKA PERGI BERURUTAN

MEREKA PERGI BERURUTAN
Refleksi Kecil tentang Berpulang Ke Rumah Abadi
Alfred B. Jogo Ena


Empat Maestro

Hampir setahun silam, tepatnya pada 19 Juli 2019, Indonesia kehilangan seorang budayawan, jurnalist, seniman dan penulis serba bisa Arwendo Atmowiloto. Ia meninggal karena kanker prostat. Ia meninggal pada usia 70 tahun. Ia telah menjejakkan dirinya dalam sejarah literasi Indonesia. Penulis cerpen, novel dan naskah sinetron ini begitu familiar di kalangan pencinta sinetron Keluarga Cemara.

Buku kesaksiannya selama berada di penjara, Khotbah di Penjara, Menghitung Hari, Surkumur Mudukur dan Plekeyun sungguh menginspirasi saya saat awal-awal tinggal di Jawa dan saat mulai kuliah di Yogyakarta. Uang saku dua bulan saya tabung khusus untuk membeli buku-buku ini. Di dalam buku-buku ini kita akan melihat sisi lain seorang Arswendo yang sangat manusiawi dengan gayanya yang sangat lucu dan mengundang kita untuk menuntaskan bacaan. Tak boleh tunda sebelum habis. Namun sayang buku-buku itu tak berjejak lagi di rak buku maupun tumpukan dos buku-buku saya.

Beberapa bulan kemudian, kita dikejutkan lagi dengan berpulangnya seorang maestro musik dari Yogyakarta, Djaduk Ferianto, putra seorang seniman kondang (koreografe dan pelukis) Bagong Kussudiardja. Ia meninggal karena serangan jantung pada usia 55 tahun. Pelayat yang datang memberi penghormatan dari segala lapisan.

Djaduk, yang mempopulerkan lagu Nderek Dewi Maria dengan kelompok kuaetnikanya, merupakan seorang aktor, sutradara dan musikus yang sangat humanis dan humoris. Saya teringat ketika suatu ketika untuk kepentingan sarasehan di kampus Fakultas Teologi Kentungan, saya dan dua teman pergi mengundang Djaduk dan Pak Bondan Nusantara untuk "berbagi ilmu" tentang budaya dan misi menurut versi mereka. Yang masih saya ingat saat terakhir memberikan amplop, dengan tegas beliau menolak dan kembalikan sambil guyon: saya tahu sampean itu kere, jadi saya kembalikan haha.. Pelayat yang datang "tumpah ruah" dari berbagai lapisan masyarakat.

Tak lama berselang, tepatnya 8 April 2020, musisi serba bisa asal Ambon manise, Glen Fredly menyusul para seniornya pada usia 45 tahun karena penyakit meningitis. Musisi yang terkenal dengan lagu-lagu cinta ini meninggal kala bangsa ini dan dunia sedang dicekam pandemi coronavirus. Sehingga tak banyak pelayat (selain keluarga dekat) ikut menghantarnya ke peristirahatan terakhir.

Hari ini, 05 Mei 2020 pukul 07.30 WIB lagi-lagi kita dikejutkan dengan kepergian maestro campursari dan keroncong Indonesia Didi Kempot, yang sering dijuluki "The Godfather of the Broken Heart." Ia dinyatakan meninggal di RS Kasih Ibu Surakarta setelah terkena serangan jantung. Ia meninggal dunia dalam usia 54 tahun.


Berpulang itu Sangat Dekat

Misteri kelahiran dan kematian setiap orang berbeda-beda. Tak ada seorang yang bisa memilih untuk terlahir ke dunia dengan orang tua tertentu, dari kedudukan sosial tertentu, dari agama dan ras tertentu. Begitu juga dengan kematian. Tak ada orang yang bisa memilih tanggal kematian. Tak ada yang bisa mengulur sampai umur tertentu baru meninggal. Jarak antara kehidupan dan kematian hanya sebatas tarikan dan hembusan nafas kita. Begitu hembusan terakhir (dan tak bisa membiarkan udara masuk lagi) entah dalam posisi apapun, pada saat itulah akhir kehidupan. Pada saat itulah seorang kembali ke asal: kembali ke pangkuan pertiwi.

Tak ada seorang pun yang bisa memprediksi panjang usianya, meski ia seorang yang jago memprediksi apa saja dalam hidupnya. Karena hidupnya bukan dia yang pegang kendali. Bukan dia yang mati atau hidupkan kran nafas, seperti kita menghidupkan atau mematikan kran air.

Saya pribadi menyaksikan tiga kali moment orang akan meninggal. Kedua moment langka itu terjadi pertama, ketika usia kelas tiga SD saya liburan di Kampung Bapak kami di Nunukae, Leguderu, Boawae, Nagekeo. Sore itu saat pulang dari pertandingan sepakbola di lapangan Leguderu saya dan bapak segera ke rumah nenek atau tantanya bapak. Nenek memang sedang sakit keras. Saat kami masuk rumah, nenek sedang memanggil-manggil nama bapak. Segera bapak mengajak saya masuk kamar dan mengambil air liur nenek untuk ditandai di dahi bapak dan dahi saya. Karena belum terlalu mengerti saya hanya menyaksikan bapak yang berdoa ditemani sepupunya bapak yang menangis memanggil-manggil nama nenek. Peristiwa ini selalu teringat mana kala mendengar ada orang yang meninggal. Saya mengingat proses seorang meregang nyawa, berjuang untuk melepaskan raga yang renta dan sakit.

Peristiwa kedua, ketiga akhir Mei 2007 saya boleh bersyukur mengalami langsung bapak meninggal dalam pelukan saya di Puskesmas di Aimere, Ngada. Saat-saat sakratul maut itu memang nyata. Pertarungan antara melepaskan raga yang ringkih karena sakit dan meninggalkan orang-orang yang dikasihi terasa sungguh berat. Sungguh, mengingat peristiwa ini selalu mendorong saya untuk bersyukur atas setiap tarikan dan hembusan nafas, atas setiap orang yang dikasihi dan mengasihi kita.

Perjuangan melepaskan kehidupan, tentu akan dialami oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang meninggal dengan tenang dalam tidurnya karena serangan jantung. Tentu ia akan berjuang untuk itu. Tak ada yang tahu pasti apakah ada proses tawar menawar dengan Tuhan agar jangan dulu berhenti bernafas, atau masih meminta waktu untuk bertobat dan mengaku dosa dulu, kalau dia seorang katolik. Saya beruntung dua hari sebelum meninggal, Bapak sudah meminta minyak suci dan pengakuan dosa. Mungkin Bapak sudah tahu akan segera pergi, maka dia menyiapkan batinnya dengan mengaku dosa dan menerima minyak suci. (sayangnya, saat itu pastornya lupa membawa sakramen mahakudus, padahal bapak masih bisa menerima Tubuh Tuhan)

Peristiwa ketiga, terjadi di tempat kami tinggal sekarang. Suatu siang, saya dan istri sedang berjalan ke RT lain. Di tengah jalan, kami berpapasan dengan anak mantan tetangga kami (saat kami masih kontrak rumah) yang menangis di jalan sambi berkata, "Om tolong bapak saya, om tolong bapak saya." Saya segera ke rumah mereka. Mendapati bapaknya sedang dalam keadaan "mau pergi". Tetangganya sedang membisikkan doa. Saya segera mencari bu Bidan dan Pak Dukuh, karena Pak Modinnya masih bekerja. Setelah itu saya kembali lagi ke rumahnya. Bersama bu Bidan dan Pak Dukuh yang terus membisikkan doa, bapak ini pun pergi untuk selamanya yang langsung disambut dengan isak tangis putri sematawa wayangnya dan anggota keluarga lain.

Bagi saya, ketiga pengalaman menyaksikan orang berpulang ke rumah abadi, ke surga atau keabadian merupakan berkat, karena boleh secaa langsung ikut mendoakan mereka untuk "membebaskan" diri dari dunia dan kembali ke Sang Pemilik Kehidupan.

Berpulang secara mendadak memang selalu mengejutkan semua orang, apalagi dalam situasi seperti sekarang yang harus mengikuti protokoler kesehatan yang ketat. Bahkan tragisnya orang-orang terkasih tidak gampang untuk mendapatkan transportasi baik udara maupun darat serta laut manakala mendengar kabar ada anggota keluarga yang sudah di saat akhir hidupnya. Ada daya kita? Hanya pasrah dan doa yang terbaik untuk yang terkasih.

Selamat beristirahat para maestro bangsa: Paulus Arswendo Atmowiloto, Greogirus Djaduk Ferianto, Glen Fredly dan Dionisius Prasetyo alias Didi Kempot.

Terima kasih atas jasa kalian dalam upaya mempersatukan bangsa melalui literasi dan musik. Berkolaborasilah di sana agar NKRI ini tetap lestari, seperti nama kalian yang lestari dalam aneka torehan tulisan dan lagu yang akan terus dihidupkan oleh para penggemarmu.

Kaki Merapi, 05 Mei 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANAMKAN JEJAK (1)

WATU NESAJA