TANAMKAN JEJAK (1)





TANAMKAN JEJAK (1)
Alfred B. Jogo Ena

Memaknai komunitas yang melebur menjadi garam dan terang

Senja yang mendekat
membawa aroma kopi
bersama sejuta kenangan

Tak terbendung hari
berlalu seperti sediakala
tinggalkan jejak peradaban

Sebelum nisan berdiri
tanamkan saja kata
jadi jejak abadi

(tulisan ini hendak membedah lebih luas puisi singkat yang saya tulis kemarin sore, 17/07/2020 di dinding FB saya)

Sampai pagi ini, anggota komunitas ini sudah 3,593 orang yang berasal dari berbagai latar belakang dan asal. Semuanya memperindah dan memperkokoh makna komunitas ini. Bagi kita ini sebuah kekayaan yang luar biasa. Di sinilah kita melebur menjadi garam sekaligus terang satu sama lain.

Sejak berdirinya tahun 2014, komunitas ini perlahan tapi pasti mulai menggeliat dalam kancah literasi sekurang-kurangnya bagi para anggotanya. Meski belum bergaung banyak secara nasional, namun patut disyukuri bahwa kehadiran komunitas ini kemudian "menetas" dalam komunitas lokal (Semarang, Solo/Klaten/Salatiga, Yogyakarta, Malang, Bandung dan Jabotabek). Dalam lokalitas ruang jumpa inilah para anggota komunitas mulai saling mengisi dan mengada secara bersama.

Yogyakarta, tempat penulis tinggal saat ini, selepas Kopardas di Ambarawa Agustus 2016 solid "menetaskan" dirinya menjadi komunitas yang produktif. Diawali oleh inisitatif Bung Herman Joseph Pius Maryanto dan saya yang kemudian mengajak penulis cerpen dan novel kawakan, Budi Sardjono kami mengadakan pelatihan menulis pertama di Rumah Pena yang terletak di Jalan Pangkur, Manukan, Condongcatur. Pelatihan pertama "melahirkan" buku berjudul Suara Dari Rumah Pena "Cubitan Mesra Untuk Gereja".

Pelatihan ini diikuti oleh 25 peserta (dari sekitar Joglosemar: Yogyakarta, Solo dan Semarang) dan peserta yang mengirimkan tulisan sebanyak 12 orang termasuk Bapak Antonius Agus Marhendro (Slamet Raharjo Marhendro) yang adalah Seknas KPKDG. Pelatihan pertama oleh Budi Sardjono sengaja mengangkat tema kritik, karena kritik baik secara oral maupun tulisan cenderung lebih gampang dilakukan (hehe konon begitu karena menuding keluar diri lebih mudah dilakukan).

Dalam pelatihan ini, peserta diajak untuk merumuskan aneka kritik kepada Gereja Katolik (di dalamnya termasuk Sekolah Katolik, Rumah Sakit Katolik, dan lembaga katolik lainnya) dari kaca mata seorang awam yang mungkin tidak diperhitungkan dalam Gereja ke dalam sebuah tulisan yang solutif dan konstruktif. (Jangan ditanya soal hasilnya dari kritikan itu, karena fungsi profetis seorang penulis biasanya berseru-seru di padang kehidupan jemaat). Sejak saat itu, geliat komunitas lokal di Yogyakarta semakin besar, sehingga hampir setiap tahun melakukan pelatihan dan membukukan hasilnya secara rapi).

Setelah pelatihan pertama mencubit keluar diri, pelatihan kedua lebih memecut ke dalam diri dengan tema "Ayat-Ayat Dahsyat Yang Mengubah Hidup." Dalam pelatihan ini (bersambung)...

Kaki Merapi, 18 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WATU NESAJA

MEREKA PERGI BERURUTAN